Saya sering ngobrol dengan teman-teman meskipun cuma lewat media sosial seperti WA atau FB Messenger. Di sela-sela obrolan itu, kerap kami curhat-curhatan tentang kegiatan kami sehari-hari. Tentang bisnis yang kami jalani, tentang keluarga, tentang hobi, impian, atau apa saja yang bisa didiskusikan. Meskipun terkadang tidak selalu membuahkan solusi bila sedang ada masalah, tapi dengan keluarnya uneg-uneg tersebut, minimal ada rasa lega dan ringan. Yah, setidaknya itu yang kami rasakan.
Sebagian besar teman-teman saya yang sudah berumah tangga cenderung curhat seputar kehebohan menjadi ibu rumah tangga. Ya ngurus anak, ngurus dapur, ngurus suami, belum lagi yang juga membuka usaha dari rumahnya. Kalau mendengar cerita mereka, wah, saya sudah bisa membayangkan betapa repotnya mereka. Saya sangat salut dengan para ibu ini. Saya sendiri belum tentu sanggup seperti itu meskipun belum berkeluarga.
Ada satu pernyataan yang sering saya terima dari teman-teman saya ini. Mereka sering bilang kira-kira seperti ini, “Evyta enaklah belum banyak tanggungan, jadi masih bisa baca buku, beli buku, ngerjain hobi dan bla bla bla.” Intinya mereka merasa sedih karena tidak punya waktu untuk membaca buku, menghafal al-qur’an, belajar, atau melakukan hal-hal yang semasa masih sendiri bisa dilakukan dengan leluasa. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, merasa menyesali kondisi dirinya yang sekarang. Saya tercenung. Sebegitunya kah?
Tapi pernyataan itu sebenarnya cukup mengganggu saya. Kenapa? Begini. Tidak ada yang perlu disedihkan atau disesalkan dengan kondisi kita, baik yang sudah menikah maupun bagi mereka yang belum. Pada prinsipnya, kita ini semua sedang berupaya melakukan investasi akhirat di dunia ini. Ada beragam cara untuk bisa berinvestasi bagi akhirat kita; Dengan anak-anak yang sholeh/sholehah, ilmu yang bermanfaat, wakaf/infaq/sedekah, menanam pohon, dan lain sebagainya. Saya pribadi justru ‘iri’ dengan teman-teman yang sudah berkeluarga, sebab separuh diinnya telah terpenuhi. Mereka memiliki payung yaitu suami, yang cukup apabila suami mereka ridho dengan mereka, surga Allaah bisa dimasuki dengan mudah. Mereka juga memiliki anak sebagai sarana untuk investasi akhirat. Mendidik anak-anak menjadi soleh dan solehah tentunya bisa dikatakan sebagai investasi akhirat, ‘kan?
Tiap-tiap kondisi ada konsekuensi dan kebutuhannya sendiri-sendiri. Mereka yang sudah menikah, seperti yang saya sebutkan di atas, memiliki banyak sarana untuk berinvestasi akhirat. Sementara bagi yang belum, mereka juga punya cara tersendiri untuk berinvestasi. Misalnya dengan membaca buku dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat, bersedekah, dan hal-hal lain yang banyak dianjurkan dalam agama Islam. Semuanya sudah ada skenarionya dari Allaah. Dan begitulah pilihan terbaik yang Allaah berikan untuk masing-masing kita saat ini. Mungkin ada yang menurut Allaah belum siap memiliki anak, memiliki suami atau sebaliknya. Semua itu tak ada yang jelek. Pilihan Allaah selalu yang terbaik.
Jadi, sudah, tak usah berkecil hati. Mari kita melakukan investasi akhirat dengan cara kita masing-masing. Yang penting, di ujungnya nanti, kita sama-sama sampai dengan selamat. Aamiin. Semoga kebaikan datang dari segala arah. 🙂
Nah iya sepakat. Masing-masing ada tantangannya sendiri-sendiri. Jadi menurutku ga bisa dibanding-bandingin.
Setuju sekali dengan tulisan di atas.
Meskipun kita tidak dapat mengetahui pasti berapa hasil yg akan kita dapat, tapi yakinlah bahwa usaha kita pasti akan ada balasannya, sekecil apapun, asal ikhlas dan sabar.
Oya, salam kenal mbak…
Sebagian hobby kita sama, berkebun.
Kalau ada waktu mampir ke sini mbak: http://salsa-strawberry.blogspot.com/
Minta masukannya. Terima kasih.
Salam Kenal…..
saya suka dengan artikelnya :):):)